Kamis, 19 Maret 2009

ILMU FIQH DAN USHUL FIQH

ILMU FIQH DAN USHUL FIQH

Definisi Fiqh dan Ushul Fiqh
Al-Fiqh berasal dari bahasa Arab yang berarti paham yang mendalam. Adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun hubungan manusia dengan Penciptanya.
Ada beberapa definisi fiqh yang dikemukakan ulama fiqh sesuai dengan perkembangan arti fiqh itu sendiri. Misalnya Abu Hanifah mendefinisikan fiqh sebagai pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Definisi ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu aqidah, mu’amalat, dan akhlak. Prof. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya “Baina Syubhtaid Dhallin wa Akadzibil Muftarin” mengatakan bahwa Fiqh ialah analisa fuqaha pada garis dilalat nash atau pada sesuatu yang tidak ada nash padanya1. Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan pembidangan ilmu yang semakin tegas ulama ushul fiqh mendefinisikan fiqh sebagai ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang terperinci2. Definisi tadi dikemukakan oleh Imam Al-Amidi, dan telah menjadi definisi Fiqh termutakhir dan masyhur hingga sekarang.
Definisi diatas dapat diuraikan bahwa fiqh mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu.
2. Fiqh adalah ilmu tentng hukum syar’iyyah yang bersumber dari Kalamullah sebagai sumber utama.
3. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang bersifat praktis didapat melalui proses istinbath dan istidlal dari sumber hukum yang benar.
4. Fiqh diperoleh dengan dalil tafshili (terperinci), berasal dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Qiyas, dan Ijma’ melalui proses istidlal, istinbath, atau nahr (analisis).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum fiqh tidak dapat terlepas dari An-Nusus Al-Muqaddasah. Maka dari itu sutu hukum tidak dinamakan fiqh apabila analisis untuk memperoleh hukum itu bukan melalui istidlal dan istinbath kepada salah satu sumber syariat.
Melangkah pada kata Ushul Fiqh, kata Ushul Fiqh adalah rangkaian dari dua kata yang membentuk tarkib ifadlah, yaitu Ushul dan Fiqh. Kata Ushul adalah bentuk plural dari kata Ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Dan kata Fiqh sendiri, seperti dalam permulaan pembahasan ini, berarti paham yang mendalam. Sedangkan Sayyid Al-Jurjaniy mengemukakan fiqh adalah “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”. Abdul Wahhab al-Khallaf sendiri mengatakan bahwa Fiqh merupakan “kumpulan hukum-hukum syariat mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Dari penjelasan Ushul dan Fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dua kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara’ mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari’ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan “Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci3.” Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara’ sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :“Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.”
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara’ dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi ‘illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara’. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan “Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’.”
Adapun secara terminologi, Asl memiliki lima pengertian, yaitu4 :
1. Al-Qawa’id Al-Kulliyah (prinsip-prinsip umum),
2. Ar-Rajih (yang terkuat),
3. Al-Mushtahab,
4. Al-Maqis,
5. Ad-Dalil
Dari pengertian terminologi di atas, artinya yang terakhir adalah yang paling sesuai dengan definisi Ushul Fiqh, menurut para fuqaha’ yaitu dalil-dalil fiqh dalam pengertian global.
Sumber Fiqh
Ulama fiqh membagi dua macam sumber fiqh, yaitu sumber yang disepakati dan sumber yang diperselisihkan. Yang dimaksudkan dengan sumber fiqh adalah landasan yang digunakan untuk memperoleh hukum fiqh.
Sumber yang disepakati atau dalam istilah Mustafa Ahmad az-Zarqa disebut dengan al-Masadir al-Asasiyyah adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Tetapi menurut jumhur ulama fiqh sumber tersebut ada empat, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, dan Qiyas.
Adapun sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama fiqh atau yang disebut juga dengan al-masadir at-Taba’iyyah (sumber selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW) terdiri atas Istihsan, Maslahat, Istishab, Irf, Sadd az-Zari’ah, Mazhab Sahabi, dan Syar’u Man Qablana. Bagi ulama fiqh yang menyatakan bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri dari Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’, Qiyas, dan yang termasuk al-Masadir at-Taba’iyyah tersebut dikatakan sebagai dalil atau metode untuk memperoleh hukum syara’ melalui ijtihad. Alasannya, metode-metode tersebut merupakan metode penggalian hukum Islam yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan kepada Al-Qur’an dan atau sunnah Nabi SAW. Oleh sebab itu, ada diantara metode ijtihad tersebut yang keabsahannya sebagai dalil diperselisihkan ulama ushul fiqh. Misalnya, metode istihsan diterima oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki dan sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil; sedangkan ulama Mazhab Syafi’i menolaknya. Karenanya dalam suatu kasus akan ditemukan beberapa hukum, apabila landasan yang dipakai adalah salah satu dari al-Masadir at-Taba’iyyah tersebut.
Munculnya perbedaan ini disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan dalam berijtihad terhadap kasus tersebut.
Objek bahasan dan ruang lingkup Fiqh
Objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditetapkan hukumnya.
Berdasarkan definisi fiqh yang dikemukakan ulama ushul fiqh, yang menjadi objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditentukan hukumnya. Nilai perbuatan itu bisa berbentuk wajib, sunah, mubah, haram, atau makruh.
Di samping itu, bidang bahasan ilmu fiqh hanya mencakup hukum yang berkaitan dengan masalah amaliyah (praktek). Pengetahuan terhadap fiqh bertujuan agar hukum tersebut dapat dilaksanakan para mukallaf dalam kehidupannya sehari-hari, sekaligus untuk mengetahui nilai dari perkataan dan perbuatan para mukallaf tersebut.
Disamping hukum itu ditunjukan pula alat dan cara melaksanakan suatu perbuatan dalam dalam menempuh garis lintas hidup yang tak dapat dipastikan oleh manusia liku dan panjangnya. Sebagai mahluk sosial dan budaya manusia hidup memerlukan hubungan, baik hubungan dengan dirinya sendiri ataupun dengan sesuatu di luar dirinya. Ilmu fiqh membicarakan hubungan itu yang meliputi kedudukannya, hukumnya, caranya, alatnya dan sebagainya. Hubungan-hubungan itu ialah:
1. Hubungan manusia dengan Allah, Tuhannya dan Para Rasulullah;
2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri;
3. Hubungan manusia dengan keluarga dan tetangganya;
4. Hubungan manusia dengan orang lain seagama dengannya;
5. Hubungan manusia dengan orang lain yang tidak seagama dengannya;
6. Hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya;
7. Hubungan manusia dengan benda mati dan alam semesta;
8. Hubungan manusia dengan masyarakat dan lingkungannya;
9. Hubungan manusia dengan akal fikiran dan pengetahuan;
10. Hubungan manusia dengan alam ghaib.
Karena rumusan fiqh itu berbentuk hukum hasil formulasi para ulama yang bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, maka urutan dan luas pembahasannya bermacam-macam. Setelah kegiatan ijtihad itu berkembang, muncullah imam-imam madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka pada mulanya, dan selanjutnya oleh para pendukung dan penganutnya. Diantara kegiatan para tokoh-tokoh aliran madzhab itu, terdapat kegiatan menerbitkan topik-topik pembahasan fiqh. Menurut yang umum dikenal di kalangan ulama fiqh secara awam, topik pembahasan fiqh itu adalah empat, yang sering disebut Rubu’ yaitu Rubu’ Ibadat, Rubu’ Mu’amalat, Rubu’ Munakahat, dan Rubu’ Jinayah.
Ada lagi yang berpendapat tiga saja yaitu: bab ibadah, bab mu’amalat, bab ‘uqubat. Menurut Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan menjadi 8 (delapan) topik5 :
a. Ibadah.
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut ini: Thaharah, Ibadah, Shiyam, Zakat, Zakat Fithrah, Haji, Janazah, Jihad, Nadzar; Udhiyah, Zabihah, Shayid, ‘Aqiqah, Makanan dan minuman
b. Ahwalusy Syakhshiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi persoalan: Nikah, Khithbah, Mu’asyarah, Nafaqah, Talak, Khulu’, Fasakh, Li’an, Zhihar, Ila’, dan lain-lain.
c. Muamalah Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah: Jual-beli, Khiyar, Riba, Sewa-menyewa, Hutang-piutang, Gadai, dan lain-lain.
d. Muamalah Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara (perbendaharaan negara = baitul mal). Pembahasan di sini meliputi: Status milik bersama baitul mal, Sumber baitul mal, Cara pengelolaan baitul mal, Macam-macam kekayaan atau materi baitul mal, Obyek dan cara penggunaan kekayaan baitul mal, Kepengurusan baitul maal; dan lain-lain.
e. Jinayah dan ‘Uqubah (pelanggaran dan hukuman)
Biasanya dalam kitab-kitab fiqh ada yang menyebut jinayah saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi: Pelanggaran, Kejahatan, Qishash, Diyat, Hukuman pelanggaran dan kejahatan, dan lain-lain.

f. Murafa’ah atau Mukhashamah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi: Peradilan dan pendidikan, Hakim dan Qadi, Gugatan, Pembuktian dakwaan, Saksi, Sumpah dan lain-lain.
g. Ahkamud Dusturiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi: Kepala negara dan Waliyul amri, Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri, Hak dan kewajiban Waliyul amri, Hak dan kewajiban rakyat, Musyawarah dan demokrasi, Batas-batas toleransi dan persamaan, dan lain-lain.
h. Ahkamud Dualiyah (hukum internasional)
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi: Hubungan antar negara, sama-sama Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam situasi perang, Ketentuan untuk orang dan damai, Penyerbuan, Masalah tawanan, Upeti, Pajak, dan lain-lain.
Objek bahasan dan ruang lingkup Ushul Fiqh
Obyek suatu ilmu adalah seluk-beluk yang secara substantif nampak dan inheren dalam disiplin ilmu yang dikaji. Sehingga obyek ilmu ushul fiqh adalah segala aspek yang terkandung dalam disiplin ilmu tersebut. Dari berbagai pendapat yang ada, tetapi kesemuanya bermuara pada dalil-dalil, macam-macamnya, tingkatannya, dan juga metode yang dipakai.
Al-Ghazali secara terperinci membagi obyek kajian Ushul fiqh dengan analogi sebuah pohon yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu buah, pohon, cara bercocok tanam, serta cara memetiknya6. Dari analogi tersebut dapat diartikan sebagai berikut
1. Pembahasan tentang dalil, Pembahasan tentang dalil dalam ilmu Ushul Fiqh adalah secara global dalam hal ini analogi Al-Ghazali bertumpu pada pohon sebagai sumber.
2. Pembahasan tentang hukum, Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya, yang dalam analoginya digambarkan sebagai buah yang merupakan hasil dari pohon..
3. Pembahasan tentang kaidah, Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya, analoginya adalah cara bercocok tanam yaitu metode-metode yang dipakai untuk menanam pohon untuk menghasilkan buah.
4. Pembahasan tentang ijtihad, Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad, disini Al-Ghazali menggambarkanya dengan cara memetik buah dari pohonnya.
Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari’at yang berbentuk Al-Qur’an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur’an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar’iyah (dalil-dalil syar’i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar’iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
1. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi dan hukum wadl’i.
2. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi).
3. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum ‘alaihi).
4. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia.
5. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
6. Masalah ra’yu, ijtihad, ittiba’ dan taqlid; meliputi kedudukan ra’yu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
7. Masalah adillah syar’iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-’urf, syar’u man qablana, bara’atul ashliyah, sadduz zari’ah, maqashidus syari’ah/ususus syari’ah.
8. Masalah ra’yu dan qiyas; meliputi. ashal, far’u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta’arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.
Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa’idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri’il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya. Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari’at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.
Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapat menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi’ yang baik7. Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.
Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.
Tujuan Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqh
Diantara tujuan Ilmu fiqh adalah sebagai berikut:
1. Menerapkan hukum-hukum syariat terhadap perbuatan dan ucapan manusia.
2. Menuntun manusia dalam bermuamalat.
3. Memberikan rambu-rambu bagi mukallaf.
4. Mukallaf dapat mengetahui konsekwensi apa yang diterima dari perbuatannya.
Sedangkan sebagaimana telah dimaklumi bahwa ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah istinbath hukum yang menjadi acuan bagi mujtahid dalam mengeluarkan hukum. Secara terperinci lagi tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui nas-nas syariat dan hukum-hukum yang dikandungnya
2. Mengartikulasikan dan mengklasifikasikan dalil-dalil zanni dan qath’i.
3. Mengetahui teori tarjih
4. Mengetahui cara istinbat hukum dari dalil-dalil
5. Memahami kerangka epistemologi dan metodologi hukum produk pemikiran mujtahid
6. Dapat menilai fuqaha yang unggul dalam sebuah hukum yang dipermasalahkan.
Sejarah perkembangan Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
a. Sejarah perkembangan Ilmu Fiqh
Hukum-hukum Fiqh tumbuh bersamaan dengan bertumbuhnya agama Islam, karena sebenarnya agama Islam merupakan kumpulan dari akidah, akhlak dan hukum amaliyah.
Menurut pandangan Mustafa Ahmad Az-Zarqa’, ada 6 periode perkembangan fiqh, yaitu8 :
1. Periode Risalah
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai beliau wafat tahun 11 H / 571 M. Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya ditangan Rasulullah yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu disebut sebagai “Fiqh Sunnah“.
Akan tetapi walaupun demikian para Ulama masih berselisih tentang kemungkinan Nabi berijtihad, berdasarkan firman Allah :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى (النجم:٣ – ٤)
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya” (An-Najm : 3 – 4).
Adapun perbedaan pendapat yang ada didasari oleh beberapa sebab sebagai berikut :
1. Allah telah menyampaikan pesan kepada Nabi sebagaimana juga berlaku pada hambanya yang lain. Dengan mengambil I’tibar dari kejadian yang telah berlalu.
2. Nabi beberapa kali mendapat teguran dari Allah atas tindakan yang dilakukannya, seperti firman Allah :
مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ أَسْرَى حَتىَّ يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ (الأنفال:٦٧)
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi” (Al-Anfal : 67 ).
1. Sunnah Nabi yang artinya sebagai berikut,
“Sesungguhnya aku menetapkan hukum berdasarkan yang lahir, dan kamu minta penyelesaian permusuhan kepadaku, barangkali seseorang diantara kamu lebih lihai dalam perkara ini dibandingkan dengan yang lain. Siapa yang aku putuskan untuknya sesuatu yang berkenaan dengan harta orang lain, janganlah dimakan. Sesungguhnya aku memberikan kepadanya potongan api neraka”.
Periode risalah ini dibagi menjadi 2 periode yaitu periode Makkah dan Madinah. Pada periode Makkah, ayat tentang hukum masih sedikit krena masih berkonsentrasi pada masalah tauhid, tetapi pada periode Madinah seluruh ayat tentang persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik menyangkut ibadah maupun mu’amalah. Oleh karenanya para ulama Fiqh menyebutnya sebagai periode revolusi sosial dan politik.
1. Periode Khulafaurrasyidin
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai dinasti Bani Umayyah. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan hadits Nabi juga ditandai dengan munculnya Ijtihad daripada sahabat. Hal ini dilakukan karena munculnya persoalan-persoalan yang hukumnya belum ditemukan dalam nash, sesuai dengan perkembangan Islam yang semakin meluas. Ijtihad mulai berkembang sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (13 H/634 M).
Pada periode ini pula untuk pertama kalinya para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk, karena daerah kekuasaan Islam sudah sangat luas dan masing-masing daerah mempunyai budaya, tradisi, situasi dan kondisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan baru tersebut.
1. Periode awal pertumbuhan Fiqh
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2. Periode ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dan munculnya fatwa dan Ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan (33H/644M).
Di Irak Ibnu Mas’ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum disana. Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah ditempuh oleh Umar bin Khatab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemashlahatan umat tanpa terkait dengan makna harfiah teks-teks suci. Umar bin Khatab mengambil sikap tersebut karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci ini diturunkan. Dari perkembangan ini muncullah beberapa Madrasah Hadits dan Ahlurra’yi (Ahlul Hadits dan Ahlurra’yi).
Ibnu Mas’ud mempunyai beberapa murid di antaranya : Ibrahim An-Nakhai (76 H), Al-Qamah bin Qais An-Nakhai (62 H), dan Syuraih bin Haris Al-Kindi (70 H).
1. Periode Keemasan
Periode berlangsung pada abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H, yang sering disebut juga dengan masa kemjuan Islam pertama (700 – 1000 M). seperti periode sebelumny ciri khas yang menonjol pad periode ini adalah semangat Ijtihad yang tinggi di kalangan para ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara Ahlulhadits dan Ahlurra’yi sangat tajam, sehingga menimbilkan semangat Ijtihad bagi masing-masing aliran. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya mazhab-mazhab fiqh yaitu : Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Periode ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh, diantaranya Al-Muwattha oleh Imam Malik, Al-Umm oleh Imam Syafi’I, Dzahir Ar-Riwayah dan An-Nawadir oleh Imam Syaibani, dan kitab Ar-Risalah kitab Ushul Fiqh oleh Imam Syafi’i. Bersamaan dengan perkembangan Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh pun sampai pada perkembangan yang sepadan, dan muncul banyak teori-teori dalam Ilmu Ushul Fiqh seperti Qiyas, Istihsan, Al-Mashalih Al-Mursalah, serta masih banyak lagi.
1. Periode Tahrir, Takhrij, dan Tarjih dalam mazhab Fiqh
Periode ini dimuai pada pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksud dengan Tahrir, Takhrij dan Tarjih adalah upaya yang dilakukan para ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas, dan mengupas pendapat para Imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat Ijtihad di kalangan ulama Fiqh, mereka lebih banyak berpegang pada hasil Ijtihad Imam-imam mazhab mereka sehingga tidak ada lagi “Al-Mujtahid Al-Mustaqill” tetapi muncul “Al-Mujtahid fil Mazhab” dan sikap “At-Ta’assub Al-Mazhabi”.
Menurut Mustafa Az-Zarqa’ ada beberapa faktor munculnya kenyataan bahwa pintu Ijtihad itu telah tertutup, yaitu :
1. Dorongan para penguasa kepada hakim untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
2. Munculnya sikap At-Ta’assub Al-Mazhabi yang berakibat pada sikap “kejumudan” dan “taqlid” di kalangan murid Imam Mazhab.
3. Muncul Gerakan pembukuan pendapat masing-maing mazhab yang memudahkan orang-orng untuk memilih pendapt mazhabnya dan menjadikannya buku itu sebagi rujukan bagi masing-masing mazhab.



1. Periode kemunduran Fiqh
Periode ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 sampai munculnya majalah “Al-Ahkam Al-‘Adliyah” (Hukum Perdata Kerajaan Turki Utsmani) pada 26 Sya’ban 1293 M.
Mustafa Az-Zarqa’ menyatakan bahwa ada 3 ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini, yaitu :
1. Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga muncul buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatw resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
2. Muncul berbagai produk fiqh sesuai dengan keinginan Turki Utsmani seperti diberlakukannya istilah At-Taqaddum (kadaluwarsa) di pengadilan.
3. Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum fiqh Islam sebagai mazhab resmi pemerintahan.
Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ juga mengemukakan 3 ciri yang mewarnai perkembangan fiqh masa itu, yaitu :
1.
1. Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman.
2. Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah Turki Utsmani, tapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada Yurisdiksi Turki Utsmani, seperti Suriah, Palestina, dan Irak.
3. Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat dengan salah satu mazhab fiqh tertentu.
b. Sejarah perkembangan Ushul Fiqh
Pada masa Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanyalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Apabila ayat Al-Qur’an belum turun ketika beliau menghadapi suatu masalah, maka dengan bimbingan Allah SWT beliau akan menetapkan hukumnya (Sunnah Rasul). Disamping itu beliau juga terkesan melakukan ijtihad dalam sunahnya. Misalnya, beliau melakukan Qiyas terhadap peristiwa yang dialami Umar bin Khatab ra sebagai berikut : “Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar. Saya mencium istri saya padahal saya sedang berpuasa”. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya : “Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur dengan air dikala kamu berpuasa?”. Lalu umar menjawab : “Tidak apa-apa yang demikian itu”, kemudian Rasulullah bersabda : “Maka tetaplah kamu berpuasa”.
Seperti pada masa sebelumnya, pada masa sahabat pun juga timbul persoalan-persoalan yang hukumnya tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, untuk itu mereka juga melakukan ijtihad, sebagaimana yang pernah diperintahkan Rasulullah kepada Amru bin Ash. Salah satu contoh hasil Ijtihad para sahabat yaitu : Umar bin Khattab ra tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena ia dalam keadaaan kelaparan (darurat/terpaksa).
Pada masa tabi’it tabi’in dan para mujtahid sekitar abda ke – 2 dan ke – 3 H, wilayah Islam menjadi semakin luas. Seiring dengan itu pula maka permasalahan hukum Islam di kalangan masyarakat Islam semakin banyak dan kompleks, apalagi setiap daerah itu mempunyai budaya, situasi dan kondisi yang berbeda. Untuk itu para ulama yang menyebar di daerah-daerah tersebut berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Disamping menyebarnya Islam di luar jazirah Arab, maka secara otomatis orang-orang arab akan bergaul dengan bangsa-bangsa non arab, sehingga terjadilah penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan maupun kalimatnya, baik ucapan maupun tulisannya. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah lughawiyah agar bahasa Arab dipahami oleh orang lain sebagaimana orang Arab memahaminya. Disamping itu disusun pula kaidah-kaidah syar’iyyah untuk panduan dalam berijtihad. Yang dengan disusunnya kaidah syar’iyyah dan lughawiyah ini dalam berijtihad pada abad ke – 2 dan 3 h maka terwujudlah kitab-kitab dalam Ilmu Ushul Fiqh.
Ibnu Nadim berpendapat bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh adalah Imam Abu Yusuf, sedangkan menurut Abdul Wahhab Al-Khallaf ulama pertama kali yang membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh adalah Muhammad Idris Asy-Syafi’I (150 - 204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah. Kitab tersebut adalah kitab Ushul Fiqh pertama yang sampai kepada umat setelahnya, oleh karena itu para ulama mengenalnya sebagai peletak Ilmu Ushul Fiqh.
Secara sistematis dapat kita petakan dalam 3 masa perkembangan Ilmu Ushul Fiqh, yaitu9 :
1.
1. Periode Pertumbuhan
Para ulama sunni bersepakat bahwa ushul fiqh berdiri sebagai disiplin ilmu lahir pada awal abad III H, yaitu setelah penyusunan kita ushul pertama Ar-Risalah. Meskipun demikian metode istinbath sudah muncul sejak jaman nabi, karena katifitas beliau telah menunjukkan adanya aktifitas ijtihad dalam mengambil keputusan. Masa inilah para sahabat yang berpencar di berbagai belahan tanah arab banyak mengambil keputusan dengan Ijtihad ketika belum menemukan nas tentang permasalahan seperti halnya nabi saat itu, dan disinilah muncul benih pertentangan antara wahyu dan ra’yu. Dan kegiatan ini semakin meningkat ketika masa tabi’in dimana semakin meluasnya wilayah Islam. Dan masa inilah dimulainya pertentangan antara kelompok rasionalis Kufah dan tradisionalis Hijaz dan Madinah. Ketegangan antara dua kubu tersebut tidak terbatas pada masalah ushul saja tetapi juga dalam wilayah furu’iyyah. Di periode ini Ushul hanya tumbuh menjadi manhaj yang alami dan ciri khas dari istinbath hukum.
Sampai akhirnya terbitlah buku Ar-Risalah yang dikarang oleh Asy-Syafi’iy yang mencoba menggariskan metode istinbath dan menggali sumber-sumber fiqh serta menguasai ilmunya dalam bentuk yang sempurna. Yang menjadikan beliau dianggap oleh mayoritas Sunni Asy-Syafi’iyyah sebagai pioner serta guru arsitek Ilmu ushul fiqh.
1.
1. Periode Perkembangan
Periode dimana kitab Ar-Risalah banyak direspon oleh ulama setelah Asy-Syafi’iy dengan respon yang bermacam-macam. Pertama, hanya menjelaskan metode istinbath asy-Syafi’iy. Kedua, menjelaskan lagi kaidah-kaidah atau dasar-dasar istinbath yang telah dirumuskan. Ketiga, mengambil ide patokan yang dikemukakan oleh asy-Syafi’iy.
Periode ini ditandai dengan melemahnya kekuatan daulah Abbasiyyah, namun walau begitu secara diametral semakin pesatnya kegiatan ilmiah dan perkembangan ilmu yang jauh lebih maju.
1.
1. Periode Penyempurnaan
Memasuki abad ke V H ushul fiqh semakin jelas menjadi karakter masing-masing mazhab. Sehingga timbullah 2 golongan besar dalam perumusan Ushul, yaitu fuqaha dan mutakallimin.
Periode ini telah melahirkan banyak Ulama Ushul dengan berbagai karya kitab-kitab ushul yang ketika itu berkembang sangat pesat. Dan diantara buku-buku yang menjadi rujukan standar pada masa itu adalah sebagai berikut:
1.
1. Al-Mughni fi Abwab al-‘Adl wa At-Tauhid karya Al-Qadi Abdul Jabar, sebagai representasi Mu’tazilah.
2. Al-Mu’tamad fi Ushul Al-Fiqh karya Abu al-Husain al-Basri, rujukan utama kelompok Mutakallimin.
3. Al-‘Uddah fi Ushul al-Fiqh sebagai rujukan pengikut mazhab Hanbali.
Selain buku-buku di atas masih banyak buku lainnya yang membahas tentang ushul.
Mazhab Fiqh
Menurut aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlussunnah dan Mazhab Syi’ah.
a. Mazhab Ahlussunnah
Mazhab ini terdiri atas 4 mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
Pendiri Mazhab Hanafi ialah Imam Abu Hanifah. Dilahirkan pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Dasar-dasar Mazhab Hanafi dalam menerapkan hukum fiqh antara lain:

1.
o Al Qur’an
o As Sunnah
o Perkataan para sahabat
o Al Qiyas 1.
o Al Istihsan
o Ijma’
o Uruf
Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah. Buku ini terdiri dari 6 bagian, yaitu: bagian pertama diberi nama al-Mabsut, bagian kedua al-Jami’ al-Kabir, bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir, bagian keempat as-Siyar al-Kabir, bagian kelima as-Siyar as-Sagir, bagian keenam az-Ziyadah. Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi hingga ada yang mensyarahnya dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
1. Mazhab Maliki
Pendiri mazhab ini adalah Malik bin Anas bin Abu Amir. Yang terkenal dengan sebutan Imam Malik. Lahir pada tahun 93 H = 712 M di Madinah. Beliau terkenal sebagai seorang Ahlulhadits.
Mazhab Maliki adalah kumpulan dari beberapa pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia. Pemikiran fiqh dan ushul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’.
Dasar Mazhab Maliki dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq oleh Imam al-Qarafi yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, Ijma, Tradisi penduduk madinah, Qiyas, Fatwa sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ‘Urf, Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Dalam Mazhab Maliki qiyas jarang digunakan karena mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya Abu Abdillah Abdurrahman bin Qasim, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim dan masih banyak lagi lainnya.
1. Mazhab Syafi’i
Mazhab ini dibangun oleh Imam asy-Syafi’i. Beliau lahir di Gaza (Palestina) tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi mazhab pertama. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun.
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam:
1.
o

1. Qaul Qadim, yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak.
2. Qaul Jadid, yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.
Dasar-dasar Mazhab Syafi’i dalam mengistinbat hukum syara’ adalah:

• Al-Kitab
• Sunnah Mutawatirah
• Al-Ijma’ • Khabar Ahad
• Al-Qiyas
• Al-Istishab
Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar-Risaalah. Dan kitab dalam bidang Fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya yaitu Al-Umm.
Pokok pikiran dan prinsip dasar ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh ketiga muridnya yang terkemuka seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani, dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi.
1. Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H, wafat tahun 241 H.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah dalam kitab I’laamul Muwaaqi’in, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
1. Nash Al-Qur’an dan atau nash hadits,
2. Fatwa sebagian sahabat,
3. Pendapat sebagian sahabat,
4. Hadits Mursal atau hadits daif,
5. Qiyas.
Para pengembang Mazhab Hanbali diantaranya: al-Atsram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani, Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj, Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi, dan lain-lainnya.
b. Mazhab Syiah
Mazhab fiqh Syiah yang terkenal adalah Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah.
1. Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di zamannya. Ia menyusun kitab al-Majmu’ yang menjadi rujukan utama fiqh Zaidiyah. Kitab ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamami dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah diantaranya Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Beliau menulis kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram.
1. Mazhab Syiah Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi’i dengan beberapa perbedaan yang mendasar. Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla.
Perbedaan mendasar fiqh Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1. Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut’ah yang diharamkan ahlussunnah,
2. Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang dalam ahlussunnah tidak perlu,
3. Syiah Imamiyah, termasuk Syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.
Mazhab Fiqh yang Punah
Maksudnya disini adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan pengikut yang fanatik, selain itu pendapatnya tidak dibukukan sehingga tidak terpublikasi secara luas.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab yang telah punah itu antara lain:
1. Mazhab al-Auza’i
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman al-Auza’i. ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Mazhab ini pernah dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi’i menggantikannya. Pemikiran al-Auza’i dapat dilihat dalam kitab fiqh yang berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir dan dalam kitab al-Umm oleh Imam Syafi’i.
1. Mazhab as-Sauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri. Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah satu mujtahid ketika itu. Mazhab ini tidak dianut lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri pada tahun 406 H.
1. Mazhab al-Laist bin Sa’ad
Tokoh pemikirnya adalah al-Laist bin Sa’ad. Mazhab ini punah dengan masuknya abad ke-3 H. Alasannya karena fatwa hukum yang dikemukakan al-Laist tidak bisa diterima oleh ulama mazhab.
1. Mazhab ath-Thabari
Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya dalam bidang tafsir yaitu Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Sedangkan di bidang fiqh diberi judul Ikhtilaf al-Fuqaha. Tetapi sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak mempunyai pengikut lagi.
1. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman.pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu dalam kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di bidang ushul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh. Sekalipun para tokoh mazhab ini banyak menulis buku di bidang fiqh, namun pengikut fanatiknya tidak banyak.
Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil, maka mazhab yang dianut masyarakat Islam sampai sekarang ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba’ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar).
Ciri ciri fiqh tiap madzhab dan kecenderungannya
1. Mazhab Ahlul hadist
1. Kecenderungan fiqh-nya
Mazhab ini terkait dengan nash – nash syara’ yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadist dan tidak melakukan ra’yu yang bersandar pada usaha akal semata. Argumentasi mereka bahwa syari’ah itu dari Allah, oleh sebab itu tidak layak menjadi arena percaturan hamba – hambanya, pendapat manusia bisa salah dan benar, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunah terlepas dari kesalahan.
1. Langkah dalam pengambilan hukum
1. Mencari dalam Al-Qur’an,
2. Bila tidak didapatkan, mencari dalam As–sunah,
3. Bila tidak didapatkan juga, mengambil pendapat yang disepakati oleh ulama Madinah,
4. Bila ulama – ulama tersebut berselisih ambil yang paling kuat,
5. Bila tidak dijumpai pendapat ulama – ulama baru digunakan ra’yu.
2. Motivasi kecenderungan tekstual
1. Motivasi psikologis; hal ini tampak pada kefanatikan para fuqaha Ahli hadist terhadap guru - guru mereka di Mekkah dan Madinah serta kepercayaan terhadap jalan yang ditempuh dalam fiqh.
2. Pusat mazhab ahli hadist adalah Madinah yaitu pusat berkembangnya sunnah dan tempat tinggal sahabat, sehingga para fuqaha Madinah lebih mengetahui dari pada fuqaha di tempat lain.
1. Mazhab Ahlurra’yi
1. Kecenderungan fiqh-nya
Madzhab ini disebut ahli ra’yu karena cenderung mereka banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hukum. Mereka memiliki pandangan tersendiri terhadap syari’ah islam. Mereka memandangnya sebagai syariat – syariatnya bias masuk akal dan pokok – pokoknya kokoh, bukan syariat baku yang tidak diketahui sasarannya.
1. Langkah dalam pengambilan hukum
1. Mencari dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah,
2. Bila tidak dijumpai, mereka mencari pendapat syeikh mereka,
3. Bila tidak ada pendapat syeikh mereka, maka mengkonklusifkan hukum atas dasar hikmah hukum atau masalah yang baru timbul,
4. Bila masih tidak ditemukan mereka mengambil hukum atas ketenangan diri mereka yang lebih maslahat.
2. Motivasi kecenderungan terhadap wahyu
1.
1. Motivasi psikologis: dukungan yang besar terhadap syeikh-syiekh mazhab mereka,
2. Kekurangan bekal hadist yang dimiliki,
3. Menurut mereka hadist amat sedikit yang tidak terkena cacat.
Titik temu di antara dua kelompok di atas adalah kesamaan sikap mereka dalam mengutamakan Al-Qur’an dan Hadits sebagai hujjah utama. Dan perbedaan yang muncul di antara keduanya adalah tentang masalah di luar kerangka al-Qur’an baik itu dalam penggunaan tafsir serta takwil Al-Qur’an dan mengeluarkan pendapat tentangnya.
Aliran – aliran dalam Ilmu ushul Fiqh
Pasca Ar-Risalah, secara global dapat disimpulkan bahwa para ulama dalam merumuskan kaidah-kaidah ushuliyyah menempuh tiga metode, yaitu metode Mutakallimin, Metode Fuqaha’, dan Konvergensi10 antara keduanya.
1. Metode Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya menggunakan cara-caradalamilmu kalam yakni menetapkan kaidah-kaidahyang ditopangdengan alasan-alasan yang kuat baik naqli atau aqli tanpa terikat dengan hukum furu’ yang telah ada pada mazhab apapun.kitab-kitab ushul fiqh pada aliran ini. Ulama aliran ini mendasarkan diri pada logika dan dalil naqli. Dan tujuan penulisan kitab-kitab aliran ini adalah agar menjadi acuan standar dalam istinbath, bukan untuk membela fiqh imamnya. Di antara ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ulama Mu’tazilah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah.
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu :
1. Kitab Al-Mu’tamad disusun oleh Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu’taziliy asy-Syafi’iy (wafat pada tahun 463 Hijriyah),
2. Kitab Al-Burhan disusun oleh Abdul Ma’aliy Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy an-Naisaburiy asy-Syafi’iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain ( wafat pada tahun 487 Hijriyah),
3. Kitab AI Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi’iy ( wafat pada tahun 505 Hijriyah).
Dan masih banyak literatur lainnya yang muncul setelah itu oleh para ulama aliran ini.
1. Metode Fuqaha’
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam (mazhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu berdasarkan kepada hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka, bahkan terkadang terlalu berlebihan dalam membela imam mereka.
Kitab kitab aliran mereka:
1. Al-Jashshash disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin Aliy (wafat tahun 380 h),
2. Al-Manar kitab yang disusun oleh Hafidhuddin ‘Abdullah bin Ahmad An Nasafiy (wafat pada tahun 790 Hijriyah), dan syarahnya yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.
Menurut Abu Zahrah perbedaan yang mendasar antara metode kalam dan Fuqaha adalah terletak pada posisi kaidah – kaidah ushul ulama mazhabnya, yaitu bahwa kaidah-kaidah yang dibangun oleh asy-Syafi’ie adalah kaidah – kaidah umum yang langsung dpat dijadikan acuan atau dikembangakan kedalam masalah furu’. Sedangkan metode fuqaha Hanafiyah, mereka menjadikan fiqh imam mazhabnya sebagai acuan dalam merumuskan kaidah – kaidah ushul.
1. Konvergensi
Metode yang menggabungkan dan mengkombinasikan antara kedua pendekatan. Metode ini juga sering disebut dengan tariqah al-jam’an. Ciri ulama mazhab ini adalah dengan sikapnya yang rasional dan juga kadang tradisional.
Diantara ulama-ulama yang mempunyai ide ini adalah sebagai berikut: Mudhafaruddin Ahmad bin ‘Aliy As Sya’atiy Al Baghdadiy (wafat pada tahun 694 Hijriyah) dengan menulis kitab Badi’un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun oleh Al Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam yang ditulis oleh Al Amidiy.
Dalam kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini, perlu dikemukakan bahwa Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibiy ( wafat pada tahun 760 Hijriyah) telah menyusun sebuah kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi nama A1 Muwafaqat. Dalam kitab tersebut selain dibahas kaidah-kaidah juga dibahas tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Kitab Ushulul Fiqh oleh Syaikh Muhammad A1 Khudlariy Bak (wafat pada tahun 1345 Hijriyah/ 1927 Masehi).
Pada modern ini ilmu Ushul Fiqh mencapai perkembangan yang gemilang, walaupun demikian masih banyak kritikan oleh para ulama kontemporer yang ingin mengembangkan ilmu ini dan ataupun sengaja ingin mengkritisi karya literatur ataupun buah pemikiran para ulama salaf.
1 Drs. H. Husnan Budiman. Pengantar Ilmu Fiqih, Usaha Offset, Surabaya. 1982. hal. 17.
2 Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994. cet. 1 hal. 2
3 Ibid.
4Abdul Mughits, M. Ag. Pengantar Fiqh/Ushul Fiqh, UIN Sunan Kalijaga, Yogya. 2008 hal. 3 - 4
5CyberMQ.com. Pengertian dan ruang lingkup fiqh. Didownload pada tanggal 13 Oktober 2008 pukul 20:06
6Abdul Mughits, M. Ag. Pengantar Fiqh/Ushul Fiqh. UIN Sunan Kalijaga, Yogya, 2008. hal. 11
7Muttabi’ ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu
8 CyberMQ.com. Sejarah Perkembangan Fiqh. Didownload pada tanggal 13 Oktober 2008 pukul 20:17
9 Abdul Mughits, M. Ag. Pengantar Fiqh/Ushul Fiqh. UIN Sunan Kalijaga, Yogya, 2008. hal. 12
10 Abdul Mughits, M. Ag. Pengantar Fiqh/Ushul Fiqh. UIN Sunan Kalijaga, Yogya, 2008. hal. 26